Banyak Terima Kasih dan Selamat Jalan, Pak Steve…

Obituari oleh Achmad Munjid

 

Kabar duka itu datang ketika kami Tim FIB UGM baru saja selesai presentasi hasil penelitian di Markas Kodam Jayakarta. “Pak Steve meninggal,” kata Mbak Wening Udasmoro, Dekan FIB yang menjadi pemimpin rombongan sambil memberitahu pesan WA yang baru saja masuk telpon pintarnya. Prof. Stephanus Djawanai, M.A, wafat pada pukul 13.40 WIB siang kemarin, Jum’at 31 Agustus 2018. Laki-laki kelahiran Bajawa, Flores, 10 Oktober 1943  yang selalu berperangai gembira itu tutup usia pada umur 75 tahun.

 

Kami sungguh merasa sangat kehilangan.

 

Prof. Stephanus Djawanai adalah seorang guru yang selalu ekspresif dan inspiring di kelas serta hangat dan bersahabat dengan semua orang, dengan siapa saja. Juga di luar kelas. Beliau selalu punya cara yg mengesankan dan  bisa menemukan celah untuk membuat para mahasiswa memahami materi yang disampaikan. Beliau tahu bagaimana menciptakan “teaching moment”, termasuk dengan menyisipkan humor sehingga para mahasiswa bukan cuma paham, tapi juga gembira menerima pencerahan pengetahuan. Itulah kenikmatan  intellectual enlightenment yang membuat proses belajar selalu menggairahkan.

 

Suatu pagi di kelas tahun pertama sebagai mahasiswa Sastra Inggris UGM, misalnya, dengan antusias kami mendengarkan bagaimana Pak Steve bercerita mengenai sepasang suami istri yang hendak bercerai setelah cekcok sengit dan akhirnya perkara mereka harus dibawa ke pengadilan. Ketika Hakim bertanya tentang asal-usul pertengkaran mereka, ternyata sebabnya adalah urusan sederhana: minum kopi di pagi hari. "Betulkah sebabnya adalah urusan secangkir kopi?," tanya Hakim lagi. Suami istri itu pun mengangguk membenarkan. Sang Hakim geleng-geleng. "Bagaimana nalarnya? Masak kalian mau bercerai hanya gara-gara secangkir kopi?," tanya Hakim pula. "Itulah, Yang Mulia. Saya juga tidak habis pikir. Saya hanya bertanya ‘mana kopinya’, tapi istri saya malah jadi seperti orang kesurupan," si suami merasa mendapat angin segar. "Yang Mulia, yang jadi soal pada dasarnya bukanlah soal kopi, juga bukan kata-kata yang dia ucapkan pada saya," si istri menyahut lantang. "Jadi apa soalnya?," tanya Hakim lagi. "Intonasinya,  Yang Mulia. Intonasinya! Intonasi kalimatnya membuat saya kehilangan seluruh martabat dan harga diri saya sebagai manusia!"

 

Nah, kata Pak Steve kemudian, jangan main-main dan anggap remeh intonasi. Dalam pragmatics, intonasi sangat, sangat penting. Intonasi bisa membuat pesan tersampaikan secara efektif. Tapi sebaliknya, ia bisa mengakibatkan salah-paham yang berakibat fatal, seperti pada contoh suami-istri itu, begitu Pak Steve menggarisbawahi pesan cerita yg terkait dengan materi kelasnya. Caranya mengajar membuat konsep yang semula tampak rumit menjadi sederhana, nyata, gamblang, relevan dan menggembirakan. 

 

Di waktu yg lain, Pak Steve lama menatap wajahku dan lembar presensi kartu kuning di tangannya secara bergantian. Sebagai bukti kehadiran, dulu setiap mahasiswa wajib membubuhkan tanda tangan pada kartu kuning itu untuk setiap pertemuan. Di atas kolom tanda tangan mahasiswa adalah kolom tanda tangan untuk dosen pengajar. Setelah lewat tengah semester rupanya tanda tanganku di kartu presensi yang berwarna kuning itu tidak sampai separuh jumlah tanda tangan Pak Steve; bukti yg tak bisa diingkari bahwa aku banyak membolos. Beliau tidak marah, tapi wajahnya tidak tersenyum ceria seperti biasanya. "You are in trouble, My Friend. If you disappear again from the class, your grade will disappear forever," katanya. Seluruh kelas pun tertawa, tapi pesan yang sampai ke telingaku sangat berbeda. Aku jadi lebih rajin datang setelah peristiwa itu.

 

Ketika aku menyelesaikan skripsi S-1 dibawah bimbingan almarhum Prof. Soebakdi Soemanto, Pak Steve menjadi salah seorang penguji. Aku ingat persis pertanyaannya. Mungkin itulah satu-satunya bagian yang kuingat tentang ujian skripsiku itu sampai hari ini. "Jadi di mana letak makna di dalam teks?," tanyanya. Tatapan matanya tajam. Senyumnya mengembang. Seluruh gerak-gerik tubuhnya adalah sikap yang menaruh kepercayaan dan harapan.

 

"Menurut strukturalisme, setiap teks terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan membangun suatu struktur. Makna terletak dalam hubungan antar-unsur yg membangun struktur itu....."

"Stop! Excellent!," dia langsung memotong kalimat yang masih akan kulanjutkan. "Sudah, sudah, sudah cukup. Tidak perlu dilanjutkan! You are right to the point!"

 

Dengan gelar Master dan PhD dari salah satu kampus terbaik di AS, yakni University of Michigan, Pak Steve adalah seorang intelektual yang sudah akrab dengan “analisis wacana” dan pemikiran Derrida, Foucault, Roland Barthes dll sejak awal 1980-an ketika baru segelintir orang di UGM membicarakan nama-nama dan gagasan para pemikir Perancis itu. Sepuluh tahun kemudian baru orang terkena wabah “posmo” dan familiar dengan pemikiran mereka. Passion-nnya pada bahasa dan kebudayaan telah mengantarnya menjadi guru besar di UGM pada 2009 dengan pidato memikat berjudul “Telaah Bahasa, Telaah Manusia”. Sebagai akademisi yang berangkat dari wilayah pinggiran, yakni Flores, salah satu yang amat mengganggu pikirannya adalah kecenderungan makin menghilangnya bahasa-bahasa lokal di tengah terpaan deras arus global. Ia percaya bahwa hilangnya suatu bahasa berarti adalah punahnya segugus gagasan, sebab hilangnya suatu bahasa berarti hilangnya sarana manusia untuk mengetahui dan menghimpun pengetahuan, hilangnya cara yang khas untuk mengungkapkan pengalaman, kenyataan, dan kehidupan. Rendahnya ragam etnolinguistik, baginya, adalah persoalan serius yang punya dampak negatif fundamental terhadap kemanusiaan. Sebaliknya, keragaman etnolinguistik yang tinggi punya potensi yang besar untuk turut menyelesaikan problem-problem kemanusiaan dan untuk tetap merawat kemanusiaan manusia.

 

Setelah 40 mengabdi sebagai dosen di UGM, Prof. Stephanus Djawanai kemudian kembali ke kampung halamannya dan diangkat menjadi Rektor Universitas Flores, periode 2012-2016 dan 2016-2020. Itulah cara yang ditempuhnya untuk  “membayar hutang” bagi kampung halamannya setelah menghabiskan lebih separuh hidupnya di perantauan. Akan tetapi, bulan Juli lalu beliau terpaksa mengundurkan diri dari jabatan itu setelah mengalami sakit yang berkepanjangan sejak beberapa tahun terakhir. Pak Steve juga memutuskan untuk kembali ke Yogya dan meninggal dengan tenang di rumahnya di Minomartani setelah berkali-kali keluar masuk rumah sakit. Ketika kami terakhir mengunjungi kediamannya setelah lebaran, beliau masih tampak bersemangat bicara dan berkelakar, meski fisiknya nyata kelihatan makin ringkih. Beliau juga bicara tentang kematian dengan pandangan yang tampak tenang, seakan telah mengisyaratkan kesiapan. Kemarin saat itu telah datang.

 

Selamat jalan, Pak Steve. May you rest in eternal peace. Kami berduka amat mendalam melepas kepergianmu. Tapi kami selalu bangga dan bersyukur mengenang jasa dan seluruh kebaikan serta warisanmu sebagai guru. Terima kasih yang tak terhingga dan terus mengalir untukmu. Salut!

 

Yogyakarta, 1 September 2018

Prof. Stephanus Djawanai, M.A, wafat pada pukul 13.40 WIB siang kemarin, Jum’at 31 Agustus 2018. Laki-laki kelahiran Bajawa, Flores, 10 Oktober 1943 yang selalu berperangai gembira itu tutup usia pada umur 75 tahun. Kami sungguh merasa sangat kehilangan.